nusakini.com--Sektor perkebunan memiliki potensi dan kontribusi yang sangat besar terhadap negara. Hanya saja, harga komoditas andalan perkebunan seperti crude palm oil (CPO) dan karet mengalami penurunan selama 5 tahun terakhir, walaupun pada pertengahan sampai dengan akhir tahun 2016 mulai menunjukkan adanya perbaikan.  

Di sisi lain harga input (cost) produksi meningkat. Kondisi tersebut seringkali dipersulit oleh kondisi iklim yang tidak bersahabat seperti terjadinya El-Nino dan La-Nina sehingga berpengaruh terhadap produksi dan produktivitas tanaman perkebunan. 

  Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan apabila situasi tersebut tidak segera diatasi dan direspons, diperkirakan kondisi bisnis perkebunan nasional akan semakin berat. 

  “Akibat dari situasi sulit ini, maka tingkat keuntungan usaha perkebunan baik perkebunan negara maupun swasta akan cenderung turun,” ungkapnya saat membuka Seminar dan Launching Penyelenggaraan World Plantation Conferences and Exhibition (WPLACE) 2017, Kamis (2/3), di Jakarta. 

Hadir di antaranya Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Sri Adiningsih, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud, Direktur Utama PT Riset Perkebunan Nusantara Teguh Wahyudi, perwakilan kementerian/lembaga terkait serta direksi perusahaan dan anggota asosiasi komoditas perkebunan. 

  Mengatasi penurunan harga komoditi perkebunan, Menko Perekonomiaan menyatakan pemerintah akan meningkatkan faktor-faktor internal usaha perkebunan seperti meningkatkan produktivitas, efisiensi dan nilai tambah. 

  “Bukan hanya masalah tanaman, melainkan juga aspek pengelolaan SDM beserta tata nilai dan budayanya, serta aspek manajemen dengan beragam sistem di dalamnya harus ditingkatkan,” tambah Darmin. 

  Selain itu, menurutnya, ilmu pengetahuan, pengetahuan dan inovasi menjadi faktor penyelamat untuk mempertahankan bisnis dan usaha perkebunan. Dengan kata lain, kemajuan industri perkebunan dapat dicapai secara sustainable (berkelanjutan) apabila ditunjang oleh lembaga riset yang kuat untuk menghasilkan teknologi dan inovasi yang mendukung. 

  Menko Perekonomian mengaku, selama ini ketimpangan pada pelaku industri perkebunan khususnya antara korporasi dan pelaku usaha kecil dan menengah terjadi karena akses terhadap teknologi, pembiayaan, pasar, sarana/prasarana dan kemampuan yang terbatas bahkan terjadi diskriminasi. 

  “Ketimpangan yang terjadi membuat ketidakadilan dalam hal aksesibilitas, penguasaan dan pemilikan lahan, lemahnya rantai nilai di antara sektor usaha bahkan tidak meratanya kesempatan usaha termasuk kemudahan akses terhadap kredit pengembangan perkebunan,” kata Darmin. 

Oleh karenanya, pengembangan usaha kecil dan menengah melalui sinergi dengan perusahaan besar di sub sektor perkebunan diharapkan terjadi dalam aktivitas investasi industri hilir perkebunan, off-take produk hasil perkebunan, penjamin untuk kredit peremajaan perkebunan, fasilitasi penyediaan benih unggul, dan kemitraan sarana produksi, serta kerjasama penguatan Riset dan peningkatan kapasitas SDM. 

  Darmin juga berharap penyelenggaraan World Plantation Conferences and Exhibition (WPLACE) 2017, yang akan diadakan pada tanggal 18-20 Oktober 2017 di Bali nantinya dapat menghasilkan langkah terobosan pengembangan komoditas perkebunan unggulan di negeri ini. 

  “Kegiatan World Plantation Conferences and Exhibition 2017 diharapakan dapat menghasilkan rumusan kebijakan yang dapat diimplementasikan bagi peningkatan pengembangan industri perkebunan domestik khususnya untuk menciptakan sinergi pengembangan usaha kecil, menengah, dan korporasi,” tutur Darmin. 

Musdhalifah Machmud menyatakan WPLACE 2017 ini merupakan momentum penting untuk menghasilkan langkah terobosan bagi pengembangan komoditas utama perkebunan di negeri ini. “Kontribusi lintas K/L dan stakeholder terkait dibutuhkan unuk menciptakan, tidak hanya langkah nyata pengembangan sektor perkebunan, melainkan juga akselerasi pertumbuhan ekonomi,” tambahnya. (p/ab)